Prof Dr Sumanto Al Qurtuby |
Mengkloning Gerakan Perempuan Berkebaya
Gelombang arabisasi yang dibungkus Islamisasi di Indonesia
sejak beberapa tahun silam telah berdampak pada banyak hal antara lain
pandangan mengenai "tata busana". Baru beberapa tahun ini saja, umat
Islam pada geger bin ribut soal tata cara berpakaian yang "Islami" atau
yang "syar'i".
Padahal, dulu tidak ada yang meributkan. Biasa-biasa saja.
Para ulama hebat di Indonesia dulu tidak pernah meributkan soal "busana
Islami" apalagi "hijab syar'i". Kenapa begitu? Karena memang mereka
menganggap semua itu tidak penting dan tidak substansial. Yang penting
dan substansial, menurut mereka, adalah menutup aurat. Baru belakangan
ini saja, setelah munculnya para ustad unyu-unyu itu, masalah "tata
busana Islami/syar'i" ini menjadi marak diperbincangkan.
Sebagian kaum Muslim pun, baik laki maupun perempuan,
ramai-ramai ikut-ikutan mengenakan "hijab syar'i" dan "pakaian Nabi".
Tidak sebatas itu saja. Mereka bahkan mengolok-olok semua jenis busana
tradisional atau pakaian adat Nusantara warisan leluhur yang mereka
anggap "tidak Islami", "tidak syar'i", "tidak surgawi" dan seterusnya.
(Lihat juga: ANCAMAN SERIUS DARI GAME POKEMON GO (BLOK))
Didorong oleh rasa keprihatinan mendalam khususnya atas
maraknya gerakan "hijabisasi masyarakat" inilah, sekelompok perempuan di
Jogja "mendeklarasikan" sebuah aksi atau gerakan "Perempuan Berkebaya"
yang kini bukan hanya di Jogja saja tetapi juga di beberapa daerah di
Indonesia, khususnya Jawa. Mereka bukan hanya berwacana tetapi juga
berkebaya kemana-mana di tempat-tempat publik sehingga menarik perhatian
banyak pihak.
Memang agak aneh sebetulnya jika ada orang merasa aneh
dengan warisan tradisi dan budayanya sendiri. Tapi itulah sebagian fakta
sosial di masyarakat kita. Karena hijab dan jubah sudah menjadi semacam
"industri agama" yang berskala transnasional dan ditopang oleh
berbagai kelompok lapisan masyarakat yang berkepentingan: politisi, dai,
birokrat, pengusaha pakaian, dlsb, maka berbagai jenis pakaian
adat-tradisional yang berskala lokal menjadi terancam eksistensinya.
Ibaratnya, pakaian adat-tradisional itu seperti "home industry" yang
sedang menghadapi gempuran hijab dan jubah sebagai "multinational
corporation".
Dalam konteks inilah, gerakan "Perempuan Berkebaya Jogja"
hadir yang bukan hanya sebagai "kritik wacana" atau "kritik sosial" atau
"perlawanan budaya" semata atas "hegemoni hijab" atau dominasi "pakaian
Arab", melainkan sebagai bagian dari upaya untuk "mengingatkan publik"
agar mau merawat atau melestarikan warisan tradisi dan kebudayaannya
sendiri. Sebuah usaha yang tentu saja patut diapresiasi. Jika tidak
diingatkan dan diantisipasi sejak dini, maka generasi yang akan datang
akan menganggap "antik" dengan pakaian adatnya sendiri.
Apa yang telah dilakukan oleh kelompok "Perempuan Berkebaya
Jogja" ini tentu saja perlu "dikloning" oleh daerah-daerah lain di
Indonesia. Perlu ada gerakan-gerakan serupa sesuai dengan pakaian
adat-tradisional masing-masing daerah: baju bodo di Bugis, baju cele di
Maluku, nggembe di Sulawesi Tengah, sarung sutra mandar di Sulawesi
Barat, pesa'an di Madura, ulos di Sumatra Utara dan seterusnya. Di Arab
Saudi sendiri, pakaian-pakaian adat-tradisional khas masing-masing suku
yang beraneka ragam mulai punah digerus oleh "pakaian Barat" maupun
"pakaian Saudi". Jangan sampai hal itu terjadi di negara Indonesia yang
kita cintai...
(Anda diberkati dengan tulisan ini? Bagikan kepada yang lain yaaa... GBU)
◈✽◈ ◈✽◈ ◈✽◈ ◈✽◈ ◈✽◈ ◈✽◈ ◈✽◈ ◈✽◈
mereka yang membuat "label" pada Cara mereka mengikuti perintah Allah, hanya segelintir org yg sebenarnya tdk paham.. lalu ajang ini semakin Di perkeruh org2 yg memiliki niat tak baik.. lakum dinukum waliyadin.. untuk mu agamamu, untukku agamaku.. mari urusi masalah masing masing
ReplyDelete